“Katakan pada ibu. Kenapa kamu ulangi lagi?”
Dewi terdiam. Ia tak berani berucap sepatah katapun. Kejadian tadi sudah cukup membuatnya kapok hingga sekarang dia sedang berada dalam ruangan bimbingan konseling.
Bu Prapti menghela napas dan menatap murid didiknya lagi sambil menggeleng kepala pelan. “Tidak bisakah kamu untuk menahan amarahmu ketika kamu diejek mereka?”
“Bu, saya sudah menahannya. Tetapi mereka terus memancing saya. Saya nggak suka, Bu,” tegas Dewi. Kini dia mulai mendapatkan keberanian untuk berbicara.
“Tetapi, bulan kemarin kamu memukul kakak kelas hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Apakah itu tidak membuatmu kapok?” tanya Bu Prapti dengan nada biasa namun penuh dengan ketegasan.
Kini ia tak bisa mengelak. Bulan lalu Dewi memukul kakak kelas karena kakak kelas tersebut menghinanya dengan mengatakan Dewi adalah anak kelas rendahan ‘perempuan nakal idaman para om-om bejat’. Itu terjadi karena kesalahpahaman kakak kelas tersebut melihat Dewi sedang bergandengan tangan dengan laki-laki berumur dan mengantarnya pulang ke rumah sehabis pulang sekolah. Mereka akrab sekali sehingga siapapun yang melihat pasti mengira mereka sudah berpacaran. Padahal, laki-laki itu adalah saudara sepupunya yang baru pulang dari luar kota. Banyak yang tidak menyukai Dewi di sekolah dikarenakan Dewi adalah murid yang terkenal cantik, ramah, serta gampang bergaul dengan siapa saja. Tidak terkecuali para guru sehingga kebanyakan para murid tidak menyukainya dan mengatainya tukang cari muka. Dewi sudah kebal terhadap ejekan dan cacian seperti itu. Namun kejadian saat itu membuatnya malu besar dan murka. Kemudian, teman-teman sekelasnya malah ikut menghinanya dan mau tak mau dia memukul lagi.
Seolah sedang berbicara dengan patung, Bu Prapti mulai melanjutkan pekerjaannya menulis daftar murid bermasalah di buku agendanya. “Ibu tidak akan menskormu karena jika itu terjadi bukannya akan menjadi baik malah semakin menjadi-jadi. Jadi, ibu akan menghukummu.”
Dewi tercenggang. “Hukumannya apa, Bu?”
“Kamu akan tahu nanti. Jadi, sekarang kembalilah ke kelas. Ingat, jangan berulah lagi,” jawab Bu Prapti dengan mata masih menatap pekerjaannya.
“Bu, salahkah saya membela diri saya ketika harga diri sedang diinjak dengan hinanya?” tanya Dewi setelah keheningan yang cukup lama terjadi antara Bu Prapti dengan dirinya.
“Apakah itu pertanyaan retoris, nak?” Dewi hanya tersenyum. “Tidak. Namun, jika kamu membalasnya dengan memukul tanpa kamu pikirkan apa akibatnya, tentu saja itu dilarang,” jawab Bu Prapti mendongak tersenyum.
Dewi pun membalas senyuman dengan lemah dan mulai bangkit meninggalkan ruang bimbingan konseling menuju kelasnya, kelas 11 IPA 2.

***

“Dasar bodoh. Kamu malah mencelakai teman sekelasmu. Kamu tega ya ngeliat Widya terluka berat?” semprot Gita. Dewi saat ini sedang di kelasnya dan terdiam mendengar kemarahan Gita. Dia menahan amarahnya untuk saat ini.
“Ini ya, yang namanya ramah? Yang seperti itu namanya baik? Dasar, munafik jadi orang!” kata Lidya, teman baik Widya. Terlihat dari wajahnya dia habis menangis karena melihat temannya dipukul oleh teman sekelasnya dengan sadis. Semua menatap Dewi dengan jijik dan marah. Mereka kecewa karena orang sebaik Dewi bisa melakukan hal tersebut. Tak terkecuali para cowok yang awalnya naksir Dewi kini begitu membenci Dewi dan menganggapnya sebagai cewek preman.
“Kita semua nggak mau melihat wajahmu lagi. Silahkan pindah saja ke sekolah lain yang mengizinkanmu memukul orang itu adalah hal wajar,” kata Donny, ketua kelas. Yang lain pun mulai ribut dan setuju dengan usul Donny. Dewi sudah pasrah dengan semuanya. Dia pun juga sangat ingin pindah dari sekolah ini. Tiba-tiba wali kelas Dewi, Bu Citra, datang ke kelas. Semua langsung terburu-buru kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Baiklah, ibu akan mengatakan beberapa hal kepada kalian semua.” Semua mendengarkan dalam diam. “Kelas kita sekarang mempunyai reputasi yang buruk karena salah satu teman kalian sudah melakukan pemukulan terhadap kakak kelas dan teman sekelasnya sendiri.” Bu Citra melirik Dewi yang menatapnya dengan pandangan kosong. “Untuk itu, seharusnya Dewi mendapatkan hukuman skorsing. Namun, sesuai dengan kebijakan sekolah. Ia tidak akan di skorsing ataupun dikeluarkan dari sekolah.”
Semua terkejut dan mulai menerka-nerka. Hukuman apa yang akan diberikan sekolah kepada Dewi jika bukan dengan skorsing atau dikeluarkan dari sekolah. Dewi hanya mengembuskan napas, menerima dengan pasrah.
“Kepala sekolah akan menempatkanmu pada kelas 11 IPS 5  yang terkenal nakal dan tidak tahu aturan,” kata Bu Citra yang langsung memecah keheningan kelas. Semua pada berbisik dengan ucapan Bu Citra. Terlintas dalam benak mereka, bukankah menempatkan anak yang bermasalah di kelas bermasalah akan menambah perkara saja? Mengapa tidak di skorsing atau dikeluarkan saja? Apakah dikarenakan Dewi pernah mendapatkan predikat baik di kalangan para guru maka dari itu diberi hukuman seperti itukah? Bu Citra hanya tersenyum melihat raut-raut anak didiknya yang terlihat jelas bahwa mereka sangat kecewa mendengar hal itu. Namun, bagi Dewi itu suatu hal yang sangat aneh. Mengapa? Kenapa? Ada apa? Siapa? Bagaimana? Semua itu hanya sebagai perang pertanyaan dalam benaknya.



“Kenapa sekolah memindahkan saya ke kelas IPS? Kenapa tidak skorsing atau pindahkan saya saja?” protes Dewi ke Bu Citra di ruang guru. Saat itu sekolah sedang sepi karena jam pulang sekolah sudah lewat daritadi.
Bu Citra tersenyum. “Di skorsing? Keenakan di kamu toh.”
Dewi mengacak rambutnya. “Tapi, ini aneh. Kenapa saya dipindahkan ke kelas yang jelas-jelas selalu bermasalah? Bukannya malah menambah perkara bagi saya?”
“Menambah perkara? Iya, kalau kamu tidak mau berubah ya seperti itulah nasibmu nanti. Hahaha,” tawa Bu Citra yang langsung dipelototi Dewi.
“Memangnya, karena apa saya dipindahkan kelas? Siapakah yang mengusulkan? Apa alasannya? Mengapa kepala sekolah menerimanya? Bukankah kepala sekolah tidak suka ada biang kerok di sekolahnya? Contohnya, Aldy anak X.3 dulu dikeluarkan dari sekolah dikarenakan dia biang kerok tawuran pelajar. Tapi, dalam kasus saya ini sama beratnya dengan kasus Aldy tetapi kenapa saya tidak langsung skorsing saja?” Dewi terus bertanya pada Bu Citra. Namun, beliau hanya tersenyum menanggapinya.
“Suatu hari nanti, kamu akan tahu mengapa kamu harus pindah kelas,” jawab Bu Citra tersenyum misterius.
Dewi keluar dari ruang guru. Hari ini membuatnya terus berpikir hingga kepalanya tiba-tiba menjadi pusing dengan semua kejadian yang tidak terduga ini. Dia ingin menceritakannya pada kakak satu-satunya, Bara. Langsung saja dia menuju parkiran dan menghidupkan motornya, pulang ke rumah.


“Wah, kan bagus tuh kamu nggak di skorsing. Kenapa kamu malah repot sendiri memikirkan itu?” pendapat Bara setelah Dewi menceritakan kejadian yang dialaminya di sekolah. Dewi sedang menikmati popmienya yang baru saja dia seduh. Bara baru pulang dari bekerja langsung ditodong dengan cerita Dewi.
“Tapi, Kak Bara.” Dewi menelan mienya. “Justru itu yang aneh. Bayangin deh, memangnya sekolah punya niat apa sampai aku cuma dikasi hukuman bukannya skorsing seperti yang teman-temanku harapkan. Pastilah nanti bakal dijadikan bahan gunjingan teman-teman di sekolah. Aku nggak suka sama mereka. Kenapa sih mereka melakukan hal itu. Padahal aku sama sekali nggak ada menganggu mereka ataupun menjelek-jelekkan mereka. Apa memang salahku?” Dewi merenung sedih menatap mie yang sedari tadi menunggu untuk dimakan lagi. Bara terdiam. Memang dari dulu tidak ada yang suka sama Dewi dari SMP. Tidak yang tahu apa penyebabnya. Dia begitu merasakan kesedihan adik satu-satunya itu. Orang tua mereka sudah lama meninggal. Baralah yang menghidupi semua sekarang. Dia bekerja di sebuah coffee café yang cukup terkenal di Denpasar. Dia menjadi asisten manager dan penghasilannya bisa dibilang cukup untuk membiayai hidup dan sekolah Dewi.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Suatu saat nanti mereka akan tahu kebaikan adiknya Kak Bara yang paling baik dan cukup cerewet ini,” kata Bara sambil mendekap dan mengacak rambut Dewi dengan sayang. Dewi hanya bisa tersenyum dan membiarkan kakaknya melakukan hal itu.
“Seandainya papa sama mama masih hidup, pasti Dewi akan cerita sama mereka semuanya,” kata Dewi pelan. Bara hanya menghela napas. Kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu yang merenggut nyawa orang tua mereka kini masih berbekas di ingatan Dewi dengan jelas. Walaupun awalnya Dewi masih tidak bisa menerima kenyataan saat itu, tetapi kini ia jauh lebih tegar dan tidak pernah mengungkit-ungkitnya masa lalu itu lagi.
“Oh, berarti sudah bosen ya curhat-curhat lagi sama Kak Bara?” canda Bara sambil pura-pura melotot ke arah Dewi. Dewi hanya bisa tertawa mendengarnya.
“Nggaklah, kak. Kak Bara itu satu-satunya keluarga yang Dewi miliki. Untung saja Tuhan nggak membuat Kak Bara ikut ke Jakarta waktu itu sama papa mama,” kata Dewi menerawang.
Bara penasaran. “Lho, kok begitu?”
“Iya soalnya nanti kalo Kak Bara nggak ada kan aku yang repot nyari uang buat bayar listrik, bayar air, belum lagi nanti bayar SPP sekolah. Eh…..,” Dewi menatap kakaknya jail. Yang dijailin langsung mengambil bantal kursi dan mengejar Dewi yang langsung terburu-buru menyelamatkan diri sebelum kena timpuk bantal dari kakaknya.

tolong comment2nya yah untuk cuplikan novel ini
thanks before ;;)

0 comments:

Post a Comment

 

Ask.fm

Instagram

Meet The Author