Renungan Gede Prama III (Nyepi)


Entah mana yang benar, sejarah membuat tokoh atau tokoh membuat sejarah. Yang jelas sulit mengingkari kita hidup di putaran waktu yang amat kelangkaan tokoh. Di negeri Barrack Obama yang lama menjadi tauladan demokrasi, sudah mulai ada orang yang berteriak “bohong” saat presiden berpidato. Eropa sejarah pemimpinnya mulai dinodai oleh hal-hal tidak beradab seperti pemimpin dilempar sepatu. Kita di Indonesia serupa, oleh media dan kritikus pemimpin senantiasa duduk di kursi yang disalahkan. Bali yang ditulis oleh sejumlah penulis Barat dengan bahasa puitik seperti morning of the world, juga tidak ketinggalan. Pentas media dan politik berisi terlalu banyak perseteruan. Ciri dominannya cuman satu, semua mengaku benar, semua mau didengar.
Digabung menjadi satu, riuh sekaligus kisruhlah kehidupan. Tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk berfikir jernih, tanpa memberikan tempat bagi keheningan untuk lewat kendati hanya sebentar. Ciri khas zaman ini, sangat langka ada manusia yang menyediakan dirinya menjadi listening warrior. Menyediakan diri untuk mendengar tidak saja dengan telinga juga dengan cinta. Tidak saja sepi juga penuh empati. Kemudian merangkai serpihan-serpihan kebenaran yang berantakan khususnya oleh politik, serta mewartakan ke publik bahwa apa yang kita ributkan membuat manusia menjauh dari kejernihan dan jalan keluar. Lebih dari itu, di zaman yang marak dengan bunuh diri dan tsunami ini, berlaku rumus sederhana: listening is nourishing. Saat mendengar kita ikut menghidupi dan menyembuhkan banyak jiwa.
Dalam konteks listening warrior inilah maka hari raya Nyepi jadi relevan. Bagi anak muda yang masih teramat lapar akan sukses dan progress, keheningan kerap disebut membuang kesempatan. Tapi setiap jiwa yang sudah tumbuh dewasa secara spiritual, berpelukan lembut dengan tubuh kosmik (baca: isitirahat dalam keheningan) serupa menghirup udara segar. Tidak saja memperpanjang umur, tetapi juga berjumpa wajah kehidupan yang semakin menyatu dari hari ke hari. Menyatu dengan alam, menyatu dengan semua ciptaan, menyatu dengan Tuhan. Tetua Bali menyebutnya tri hita karana.
Siapa yang berani menyelam ke kedalaman kehidupan seperti ini, kolam kehidupan yang tadinya keruh kemudian terang benderang terlihat. Ternyata dari zaman lahirnya nabi sampai zaman kini, kehidupan senantiasa dialektis. Serupa manusia yang membangun rumah kemudian dihancurkan rayap, di mana ada orang membangun, di sana ada kekuatan lain yang menghancurkan. Di mana lahir kesucian, di sana juga lahir kekotoran. Bila manusia biasa dibuat kisruh oleh pola dialektis kehidupan seperti ini, para suci duduk rapi di atas pertentangan dan dualitas, menyaksikannya kemudian memutar roda kasih sayang. Hadirnya rayap yang menghancurkan rumah (baca: hadirnya penggoda di setiap zaman) bukan alasan untuk menghentikan pembangunan. Sebaliknya, membuat kehidupan menjadi semakin halus dan semakin halus. Serupa Mahatma Gandhi yang halus karena hadirnya penjajah Inggris, mirip Nelson Mandela yang lembut karena dipenjara 27 tahun. Mirip Muhammad Junus yang peka karena tumbuh di tengah kemiskinan Bangladesh.
Amerika memang putaran waktunya sedang turun, Eropa memang sedang dibelit krisis, Indonesia memang sedang menata ulang dirinya. Semuanya hanya manifestasi dari hukum dialektis yang sama. Dan ke mana pun siklus kehidupan sedang berjalan, peradaban memerlukan listening warrior. Yang bisa hening di tengah keramaian, mendengar tidak saja dengan telinga, mengumpulkan dan merangkai serpihan-serpihan kebenaran, kemudian mewartakan pada pemimpin khususnya. Pemimpin tidak ditakdirkan sebagai bagian dari pertententangan, melainkan diharapkan duduk rapi di atas pertentangan, melihatnya secara jernih, kemudian memutar roda keputusan hanya dengan kasih sayang. Disamping itu, dengan keheningan yang sempurna, listening warrior juga ikut mengirim vibrasi kesembuhan ke tubuh kosmik yang banyak luka sebagaimana ditunjukkan oleh banyaknya tsunami, banjir dan bunuh diri.
Dengan demikian, Nyepi tidak saja berwajah penghematan energi, pengurangan emisi, memperkecil kemungkinan pemanasan global, tapi juga menjadi momen kontemplasi yang memungkinkan manusia keluar dari kolam kehidupan yang kisruh oleh kepentingan dan kekuasaan. Kemudian mengijinkan ketenangan, kesejukan, kedamaian memberikan ruang bagi lahirnya kejernihan.
Dan bila listening warrior lahir, benar seperti ditulis pemenang hadiah nobel sastra Rabindranath Tagore yang sepulang dari kunjungan ke Bali kemudian menyebut Bali sebagai morning of the world. Mentari pagi dari Bali untuk Bumi, mentari keheningan yang mengetuk pintu hati banyak manusia untuk mendengar karena teramat langka manusia di zaman ini yang mau mendengar. Kendati telinga manusia dua kali lebih banyak dari mulut, tetap memerlukan perjuangan keras bagi manusia di zaman ini untuk bisa mendengar. Padahal, hanya di kedalaman pendengaran manusia bisa terhubung dengan tubuh kosmik, mengalami kebersatuan, kemudian bisa merasakan tidak saja setiap tempat jadi rumah (home), setiap waktu jadi home, tapi setiap keadaan batin juga home (every state of mind is home).
Coba perhatikan sebagian peninggalan tetua Bali. Di kepala pulau Bali nama desanya Kubutambahan. Kubu berarti rumah, tambah artinya positif. Artinya rumah manusia-manusia yang berfikir positif. Di kaki pulau Bali di mana matahari terbit indah sekali memeluk puncak Gunung Agung, desanya bernama Sanur. Sa artinya satu, Nur artinya cahaya. Ringkasnya berarti cahaya yang satu. Dan sebuah tempat yang amat terkenal ke seluruh dunia bisa menyembuhkan banyak manusia bernama Ubud berarti ubad alias obat. Dan lokasinya di Bali Tengah. Digabung menjadi satu, isilah kepala dengan hal-hal positif, langkahkan kaki diterangi cahaya yang satu. Dan kesembuhan bisa muncul kemudian. Caranya, selalu hindari hal-hal ekstrim, istirahatlah di jalan tengah. Dari sini baru mungkin hadir tangan-tangan pemimpin yang bergandengan dengan semuanya, kemudian membuat gerak kehidupan sebagai perjalanan pulang. Sekaligus bersama-sama kita sembuhkan tubuh kosmik yang sedang luka di mana-mana. Besok pagi di hari Nyepi, matahari pemahaman seperti inilah yang terbit dari Bali. Selamat hari raya Nyepi. Semoga semua mahluk berbahagia.

1 comments:

  1. Trimakasih tulisan artikelnya dan ini kami informasikan mengenai tulisan2 Bpk Gede Prama yang versi Bhs Ingris kalau mau baca2 silahkan ada di http://www.gedepramascompassion.com

    ReplyDelete

 

Ask.fm

Instagram

Meet The Author